MAHASISWA SUNDA, ‘NGAMUMULÉ BASA SUNDA’*
Oleh: Laila Nur Barkah
Menurut Acep Hermawan
(2010:8), bahasa merupakan realitas yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan
tumbuh kembangnya manusia pengguna bahasa itu. Realitas bahasa dalam kehidupan
ini semakin menambah kuatnya eksistensi manusia sebagai makhluk berbudaya dan
beragama.
Bangsa Indonesia begitu
kaya akan keragaman bahasa, suku dan budaya. Tercatat di Pusat Bahasa Depdiknas
pada tahun 2008 bangsa Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah. Namun
ada bahasa daerah yang sudah punah disebabkan komunitas yang sedikit,
diwariskan turun temurun secara lisan. Akibatnya setelah penutur aslinya tidak
ada, bahasa daerah itu pun punah.
Basa Sunda
merupakan bagian dari kekayaan bahasa daerah di Indonesia. Sekitar 15,2% bangsa
Indonesia ialah suku Sunda. Dan suku Sunda merupakan etnik kedua terbesar di
Indonesia.
Tidak diketahui kapan basa
Sunda lahir. Tetapi ada bukti yang merupakan keterangan tertua. Yaitu
ditemukannya prasasti di abad-14. Prasasti tersebut ditemukan di Kawali
Kabupaten Ciamis. Ditulis dengan menggunakan aksara dan basa Sunda buhun
(kuno). Prasasti tersebut dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala
Wastukancana (1397-1475).
Di prasasti itu tertulis “Nihan tapak walas nu siya
mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna
kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama
nu pandeuri pakéna gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah
peninggalan mulia, sungguh peninggalan Eyang Prabu Adipati Wastukentjana yang bertahta di Kawali, yang memperindah
keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibu kota, yang menyejahterakan
seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat
kebajikan agar lama berjaya di dunia).
Dan sebagian kata-kata yang ada di prasasti tersebut
dijadikan lirik di bait pertama dari mars Kabupaten Ciamis yang berbunyi, “Pakéna
gawé rahayu. Pakeun heubeul jaya di buana. Ciamis natar udagan.
Mapag mangsa datang. Nanjung tur gumilang.......”
Kembali ke basa Sunda, basa Sunda
merupakan warisan budaya dan merupakan identitas suku Sunda. Bukan milik para
budayawan Sunda ataupun kolot-kolot baheula. Tetapi milik kita semua, urang
Sunda. Termasuk di dalamnya adalah kita, mahasiswa.
Ngamumulé berarti menjaga, memelihara untuk tetap
lestari. Dan ngamumulé basa Sunda merupakan tindakan agar basa Sunda
tetap eksis dalam keragaman bahasa daerah di Indonesia. Pula basa Sunda
merupakan bagian dari kekayaan budaya Bangsa Indonesia.
Jika kita simak sekarang ini, banyak urang Sunda
yang kian meninggalkan basa Sunda. Misalnya ibunya orang Tasikmalaya,
bapaknya asal Bandung. Bisa berbahasa Sunda. Tetapi anaknya tidak bisa
berbahasa Sunda. Karena sejak kecil tidak dikenalkan bahasa daerah, namun
secara langsung dilatih menggunakan bahasa Indonesia. Sebab alasan trend
saat ini, pun alasan lainnya.
Selanjutnya, sebagian besar mahasiswa di
Tasikmalaya berasal dari Jawa Barat dan urang Sunda. Dan fenomena yang
terjadi banyak mahasiswa yang memilih untuk tidak menggunakan basa Sunda
dalam pergaulannya sehari-hari dengan alasan yang beragam. Ada yang menganggap basa
Sunda ialah bahasa kolot atau kuno yang tak seharusnya digunakan dalam
pergaulan saat ini.
Lalu, sebagian dari fenomena lainnya banyak
pelajar dan mahasiswa urang Sunda yang kesulitan menggunakan dan
menempatkan kata. Seperti kata ngabantun dan nyandak, dongkap dan
sumping, mulih dan wangsul dan kata-kata Sunda lainnya. Sehingga
memilih untuk tidak menggunakan basa Sunda. Contoh sederhana misalnya
ada seseorang yang ditanya, “Mulih ti mana teh? Maka jawaban yang
tepat dalam basa Sunda ialah, “Wangsul ti..........”. Tetapi
ada yang memilih tidak menjawab dengan basa Sunda. Misal jawaban, “Emh,
Aku dari....” . Padahal sang penjawab bisa berbahasa Sunda.
Jika fenomena-fenomena di atas kerap terjadi,
maka basa Sunda perlahan-lahan akan terkikis dan dalam jangka waktu yang
relatif lama basa Sunda bisa habis dalam artian punah, karena tidak
digunakan lagi oleh penuturnya. Selanjutnya, nanti, bisa jadi suku Sunda yang
merupakan etnik kedua terbesar di Indonesia namun ia kehilangan jati dirinya sebab bahasanya telah
tiada.
Jika kita amati kampus kita—IAIC, banyak
mahasiswa yang berasal dari Bandung, Ciamis, Tasikmalaya, Bogor, Pangandaran,
Karawang, Sukabumi dan kabupaten lainnya yang berada di provinsi Jawa Barat.
Maka sudah semestinya kita bisa ngamumulé basa Sunda dengan cara
apa pun. Baik dalam percakapan sesama, dalam pesan singkat (SMS), atau dalam chatting
facebook dengan urang Sunda dan cara lainnya.
Miris. Jika basa Sunda lenyap akibat
ulah urang Sundanya sendiri. Sama dengan bangsa Indonesia kehilangan
sebagian harta kekayaannya atau bisa dikatakan bangsa Indonesia miskin
perlahan-lahan. Tidak. Tidak akan terjadi jika kita sebagai mahasiswa—yang
merupakan bagian dari masyarakat Sunda, urang Sunda dan hidup di
lingkungan yang nyunda mau untuk ngamumulé basa Sunda.
Wallāhu’alam []
*) Tulisan ini telah dimuat di majalah
izdihar—majalah kampus IAIC (Institut Agama Islam Cipasung) Tasikmalaya