Thursday, 23 July 2015

MAHASISWA SUNDA, ‘NGAMUMULÉ BASA SUNDA’



MAHASISWA SUNDA, ‘NGAMUMULÉ BASA SUNDA’*
Oleh: Laila Nur Barkah
            Menurut Acep Hermawan (2010:8), bahasa merupakan realitas yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tumbuh kembangnya manusia pengguna bahasa itu. Realitas bahasa dalam kehidupan ini semakin menambah kuatnya eksistensi manusia sebagai makhluk berbudaya dan beragama.
            Bangsa Indonesia begitu kaya akan keragaman bahasa, suku dan budaya. Tercatat di Pusat Bahasa Depdiknas pada tahun 2008 bangsa Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah. Namun ada bahasa daerah yang sudah punah disebabkan komunitas yang sedikit, diwariskan turun temurun secara lisan. Akibatnya setelah penutur aslinya tidak ada, bahasa daerah itu pun punah.
            Basa Sunda merupakan bagian dari kekayaan bahasa daerah di Indonesia. Sekitar 15,2% bangsa Indonesia ialah suku Sunda. Dan suku Sunda merupakan etnik kedua terbesar di Indonesia.
            Tidak diketahui kapan basa Sunda lahir. Tetapi ada bukti yang merupakan keterangan tertua. Yaitu ditemukannya prasasti di abad-14. Prasasti tersebut ditemukan di Kawali Kabupaten Ciamis. Ditulis dengan menggunakan aksara dan basa Sunda buhun (kuno). Prasasti tersebut dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).
Di prasasti itu tertulis “Nihan tapak walas nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakéna gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Eyang Prabu Adipati Wastukentjana yang bertahta di Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibu kota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).
Dan sebagian kata-kata yang ada di prasasti tersebut dijadikan lirik di bait pertama dari mars Kabupaten Ciamis yang berbunyi, “Pakéna gawé rahayu. Pakeun heubeul jaya di buana. Ciamis natar udagan. Mapag mangsa datang. Nanjung tur gumilang.......”
Kembali ke basa Sunda, basa Sunda merupakan warisan budaya dan merupakan identitas suku Sunda. Bukan milik para budayawan Sunda ataupun kolot-kolot baheula. Tetapi milik kita semua, urang Sunda. Termasuk di dalamnya adalah kita, mahasiswa.
Ngamumulé berarti menjaga, memelihara untuk tetap lestari. Dan ngamumulé basa Sunda merupakan tindakan agar basa Sunda tetap eksis dalam keragaman bahasa daerah di Indonesia. Pula basa Sunda merupakan bagian dari kekayaan budaya Bangsa Indonesia.
Jika kita simak sekarang ini, banyak urang Sunda yang kian meninggalkan basa Sunda. Misalnya ibunya orang Tasikmalaya, bapaknya asal Bandung. Bisa berbahasa Sunda. Tetapi anaknya tidak bisa berbahasa Sunda. Karena sejak kecil tidak dikenalkan bahasa daerah, namun secara langsung dilatih menggunakan bahasa Indonesia. Sebab alasan trend saat ini, pun alasan lainnya.
Selanjutnya, sebagian besar mahasiswa di Tasikmalaya berasal dari Jawa Barat dan urang Sunda. Dan fenomena yang terjadi banyak mahasiswa yang memilih untuk tidak menggunakan basa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari dengan alasan yang beragam. Ada yang menganggap basa Sunda ialah bahasa kolot atau kuno yang tak seharusnya digunakan dalam pergaulan saat ini.
Lalu, sebagian dari fenomena lainnya banyak pelajar dan mahasiswa urang Sunda yang kesulitan menggunakan dan menempatkan kata. Seperti kata ngabantun dan nyandak, dongkap dan sumping, mulih dan wangsul dan kata-kata Sunda lainnya. Sehingga memilih untuk tidak menggunakan basa Sunda. Contoh sederhana misalnya ada seseorang yang ditanya, Mulih ti mana teh? Maka jawaban yang tepat dalam basa Sunda ialah, Wangsul ti..........”. Tetapi ada yang memilih tidak menjawab dengan basa Sunda. Misal jawaban, “Emh, Aku dari....” . Padahal sang penjawab bisa berbahasa Sunda.
Jika fenomena-fenomena di atas kerap terjadi, maka basa Sunda perlahan-lahan akan terkikis dan dalam jangka waktu yang relatif lama basa Sunda bisa habis dalam artian punah, karena tidak digunakan lagi oleh penuturnya. Selanjutnya, nanti, bisa jadi suku Sunda yang merupakan etnik kedua terbesar di Indonesia namun ia  kehilangan jati dirinya sebab bahasanya telah tiada.
Jika kita amati kampus kita—IAIC, banyak mahasiswa yang berasal dari Bandung, Ciamis, Tasikmalaya, Bogor, Pangandaran, Karawang, Sukabumi dan kabupaten lainnya yang berada di provinsi Jawa Barat. Maka sudah semestinya kita bisa ngamumulé basa Sunda dengan cara apa pun. Baik dalam percakapan sesama, dalam pesan singkat (SMS), atau dalam chatting facebook dengan urang Sunda dan cara lainnya.
Miris. Jika basa Sunda lenyap akibat ulah urang Sundanya sendiri. Sama dengan bangsa Indonesia kehilangan sebagian harta kekayaannya atau bisa dikatakan bangsa Indonesia miskin perlahan-lahan. Tidak. Tidak akan terjadi jika kita sebagai mahasiswa—yang merupakan bagian dari masyarakat Sunda, urang Sunda dan hidup di lingkungan yang nyunda mau untuk ngamumulé basa Sunda.
Wallāhu’alam []

*) Tulisan ini telah dimuat di majalah izdihar—majalah kampus IAIC (Institut Agama Islam Cipasung) Tasikmalaya