#haribumi2021 #22April2021
Pengalaman Ngompos
Oleh: Laila Nb
Setiap hari, tentunya saya sering menjumpai sampah di dapur. Sisa-sisa sayuran, buah-buahan, sisa nasi dan sisa makanan lainnya hampir setiap hari memenuhi tempat sampah di rumah. Kemudian, sampah kantong kresek, plastik kemasan, kertas dan sampah lainnya tak pernah surut berada di tempat sampah saya.
Setelah menikah saya ikut ke kampung suami di salah satu desa di Kab. Gresik. Desa ini merupakan daerah padat pemukiman. Rumah saya dengan rumah tetangga sangat berdempetan. Pertama kali saya membuang sampah, pada saat itu bersama suami naik motor. Dibuang ke lahan kosong yang juga banyak sampah di situ. Ternyata di desa ini belum ada perhatian khusus bagi pengelolaan sampah dari pemerintah desa setempat. Ada juga sebagian warga yang membakar sampahnya, sehingga menyebabkan udara di desa mulai hilang kesegarannya. Jika saya jalan-jalan pagi di komplek rumah, ada saja warga yang sedang membakar sampahnya. Apalagi Gresik terkenal sebagai daerah industri. Dengan banyaknya jumlah industri di Gresik maka masalah pencemaran udara pun bermunculan.
Ketika saya membuang sampah ke lahan itu, ada rasa berdosa. Saya merasa menambah masalah bagi desa ini. Apalagi bau yang dihasilkan dari sampah, luar biasa menyengat. Hal itu disebabkan karena sampah tidak dipilah dan dipilih. Sampah organik dan anorganik bersatu sehingga menyebabkan bau yang mencemari udara.
Saya mulai mencari informasi mengenai cara mengelola sampah rumah tangga. Sedikit-sedikit saya ingin mengubah pola hidup yang sebelumnya saya lakukan. YouTube saya tonton, google gak kelewatan, Instagram pun saya buka. Ternyata banyak sekali akun-akun peduli lingkungan yang membahas pengelolaan sampah rumah tangga. Semuanya saya serap informasinya. Kemudian mulailah saya memilah dan memilih sampah. Sampah organik di satu tempat, dan sampah anorganik di tempat lainnya.
Awal mengompos, saya lakukan dalam karung. Karung yang tidak terpakai saya lubangi. Kemudian sampah-sampah organik dimasukkan. Proses mengompos saya lakukan di 'rooftop'. Karena lahan sempit dan supaya bau dari proses pengomposan tidak mengganggu tetangga. Sebenarnya ngompos yang baik tidak berbau, jika komposisi material hijau dan material coklat seimbang. Ketika tidak seimbang maka pengomposan akan berbau. Teorinya seperti itu. Tetapi dalam praktek memang agak susah. Ada saja kekurangan yang dihadapi, apalagi bagi pengompos pemula seperti saya.
Alhasil setelah seminggu berjalan ngompos, waw..waw..waw air lindi dari proses pengomposan berceceran karena tidak saya tampung dan baunya kemana-mana. Belatungnya luar biasa banyak. Ketika suami saya ke rooftop ia mengernyitkan dahi dan menutup hidung karena bau yang dihasilkan dari proses pengomposan. Kadangkala ia bilang "sampahnya dibuang ke TPA saja, di sana juga akan membusuk sendiri", ungkapnya.
Setelah saya mencari informasi, ternyata dampak penimbunan sampah di TPA menyebabkan kondisi kurangnya atau tidak adanya oksigen. Hal ini menyebabkan sisa organik terurai secara anaerob (tanpa kehadiran oksigen). Lalu apa yang terjadi dengan proses penguraian anaerob ini?
Menurut sustaination.id, penguraian sisa organik secara anaerob (tanpa oksigen) akan menghasilkan campuran gas metana (CH4) sebanyak 55-75 vol% dan gas karbon dioksida (CO2) sebesar 25-45 vol%. Bayangkan berapa gas metana yang diproduksi dari penguraian anaerob sisa organik di TPA? Produksi gas metana yang berlebihan ini ternyata membahayakan bagi bumi kita. Riset Princenton University menyatakan bahwa gas metana memiliki pengaruh dan kontribusi sebesar 30 kali lebih tinggi daripada gas karbon dioksida terhadap efek rumah kaca dan pemanasan global. Selain menyebabkan efek rumah kaca dan pemanasan global, gas metana juga bersifat mudah terbakar. Hal ini tak jarang bisa menyebabkan kebakaran di TPA.
Selanjutnya penguraian sisa organik tanpa oksigen yang terjadi di TPA juga menyebabkan produksi asam yang akan meresep di dalam lapisan tanah. Nantinya, zat asam ini akan sampai dan mengotori air tanah kita. Padahal, akses sumber air bersih merupakan hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup kita.
Terjadi keraguan saat pertama kali saya mengompos. Apakah dilanjutkan atau tidak. Karena kesan pertama kali yang kurang memuaskan. Suami merasa kebauan, saya juga begitu. Merasa jijik dengan prosesnya, belatung loncat kemana-mana dan keadaan-keadaan lain yang semakin memperkeruh keraguan saya.
Di sisi lain saya merasakan manfaat dari proses awal itu. Sampah anorganik saya tidak berbau seperti sebelumnya, karena keadaanya kering. Tetapi saya baru pada tahap pemilahan, belum ada tindak lanjut bagi sampah anorganik lainnya. Paling dipilah dan dipilih lagi seperti sampah botol plastik dan kardus yang kemudian bisa dijual ke pengepul. Namun, sampah lainnya belum saya tindak lanjuti. Masih ada sampah yang dibuang ke TPA. Tetapi mudahah-mudahan ke depannya, sedikit demi sedikit saya bisa mewujudkan rumah 0 (nol) sampah. Karena sebagian besar sampah di TPA adalah sampah dari rumah.
Saya coba lagi mengompos, tetapi mengompos dengan menggunakan ember. Supaya bau dan belatung berkurang, dan air lindi tertampung. Kemudian juga saya mencoba berkonsultasi dengan salahsatu teman suami saya, seorang pegiat lingkungan di Kab. Gresik. Ternyata awal mengompos dengan ember pun ada tantangan yang dihadapi. Sekitar 4-5 bulan kompos saya tidak kunjung hancur dan terurai. Padahal sampah organik saya ngantri untuk masuk ke komposter itu. Tapi karena penuh saya kembali membuang sampah organik ke TPA. Setelah dicari penyebabnya ternyata saya menutup embernya terlalu rapat. Suplai oksigen kurang sehingga sampahnya tidak kunjung terurai dan kadar asamnya tinggi. Namun akhirnya, meski lama saya bisa memanen komposnya.
Saat ini, alhamdulillah saya
masih melanjutkan proses mengompos. Banyak hal-hal yang saya pelajari dari
proses ngompos sebelumnya. Pada minggu ini alhamdulillah saya berhasil memanen
kompos yang terurai hanya dalam waktu 3 minggu saja. Semoga hal-hal baik ini
terus berlanjut. Dan dari langkah kecil ini bisa menjadi bagian dari kontribusi
untuk menyelamatkan bumi yang kita pijak. Bumi adalah rumah bagi kita. Maka
sudah semestinya kita menjaganya dengan baik. #SelamatHariBumi
0 comments:
Post a Comment