Konsep anjuran
pemberian nama terhadap seorang anak telah disampaikan oleh Kanjeng Nabi SAW.
dalam haditsnya. Bahwasanya disunatkan memberi nama anak yang baru lahir pada
hari ke tujuh. Berikut ini keterangan yang dikutip dari kitab Adzkar Nawawi,
“Adalah sunah menamai anak pada hari ketujuh
terhitung dari hari kelahiran. Adapun dalilnya ialah riwayat al-Tirmidzi yang
bersumber dari Amar bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwasanya Nabi
SAW memerintahkan untuk menamai anak pada hari ketujuh.”
Selanjutnya, Kanjeng Nabi SAW. menganjurkan untuk memberi nama yang baik.
Sebagaimana dalam hadits
riwayat Abu Darda, Kanjeng Nabi Saw. bersabda,
“Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari Kiamat nanti
dengan nama-nama kalian dan nama-nama ayah kalian, maka baguskanlah nama-nama
kalian”
Lalu, menurut Arkand Bodhana
Zeshaprajna—seorang ahli metafisika nama dan tanggal lahir, nama bukan sekedar
kumpulan kata melainkan mengandung energi. Adapun bagi orang tua, pemberian nama kepada anak-anak mereka merupakan
do‘a dan harapan. Semoga kelak mereka—anak-anaknya—menjadi pribadi yang
bermanfaat bagi sesama, menjadi anak yang shalih-shalihah, dan segenap kalimat
do’a lainnya. Demikian pula, ihwal nama, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
pun memiliki arti yang telah dirumuskan. ‘Nama’ ialah 1) kata untuk menyebut
atau memanggil orang (tempat, barang, binatang, dan sebagainya); 2) gelar,
sebutan; 3) kemasyhuran, kebaikan (keunggulan), kehormatan.
Siti. Begitu banyak perempuan-perempuan di
Indonesia yang memiliki nama demikian. Adalah Siti Maemunah, Siti Fatimah, Siti
Rokayah, Siti Aisah, Siti Maesaroh, Siti Nurlela, Siti Masitoh, Siti Nurohmah,
Siti Jamaliah, Siti Mutoharoh, Siti Rahmawati. Nama Siti tersebut digunakan di
awal. Ada juga yang menggunakan nama Siti di tengah, seperti Lia Siti Nurlaila,
Enok Siti Nurhalimah, Mega Siti Patimah, dll.
Bahkan, masyarakat kita kerap menyebut
nama-nama perempuan di zaman para nabi pun diawali dengan nama Siti. Seperti,
Siti Hawa istri Nabi Adam as., Siti Sarah & Siti Hajar keduanya adalah
istri dari Nabi Ibrahim as., Siti Maryam ibu dari Nabi Isa as., Siti Khadijah
istri Nabi Muhammad Saw., dan Siti Fatimah ialah salah satu putri Nabi Muhammad
SAW.
Sebagian berpendapat bahwa ‘Siti’ diambil
bahasa Arab. Bahwa ‘Siti’ adalah panggilan kehormatan bagi perempuan. Namun,
dalam teks-teks berbahasa Arab fusha sangat jarang bahkan tidak ditemukan
panggilan ‘Siti’. Tapi panggilan kehormatan bagi perempuan yang ditemukan dalam
teks-teks bahasa Arab fusha[1]
adalah Sayyidah. Misal Sayyidah Khadijah, Sayyidah Fatimah, dsb. Lantas Siti? Katanya bahasa Arab?
Dalam suatu perkuliahan yang diikuti, saya
menemukan jawaban dari seorang native speaker atau penutur asli bahasa
Arab yang berasal dari Mesir. Ketika itu beliau mengampu mata kuliah bahasa
Arab Amiyah[2].
Salah satu materi yang saya tangkap di perkuliahan itu adalah kata “Sitt”.
Dalam dialek Arab Amiyah Mesir, ‘Sitt’ artinya perempuan. Dan menurut analisa saya—secara subjektif,
kemudian barangkali kata tersebut terintegrasi ke dalam Bahasa Indonesia
menjadi ‘Siti’ yang dipakai oleh sebagian besar nama perempuan. Sebenarnya nama
‘Siti’ bukan hanya berada di Indonesia. Di Malaysia pun ada. Kita sangat
mengenal penyanyi asal Malaysia yang suaranya merdu, pelantun lagu cindai, Siti
Nurhaliza. Dan barangkali di negara-negara rumpun Melayu lainnya pun terdapat
nama Siti. Adapun awal mula terintegrasinya nama ‘Siti’ di Indonesia saya belum
tahu kapan mulai terjadinya. Mesti dilakukan penelitian lebih lanjut.
Telah dijelaskan di awal, nama’Siti’ identik
dengan perempuan. Namun, bagaimana dengan nama ‘Syekh Siti Jenar’?. Namanya
Siti tapi bergelar ‘Syekh’. Syekh Siti Jenar memang bukan seorang perempuan
tapi Syekh Siti Jenar berjenis kelamin laki-laki. Ia seperguruan dengan Sunan
Kalijaga dan merupakan murid Sunan Bonang. Lantas, apa arti ‘Siti’ pada nama
Syekh Siti Jenar? Jika diartikan perempuan sudah tidak relevan lagi karena Syekh
Siti Jenar adalah laki-laki.
Jawabannya—setelah mencari dari beberapa
sumber, salah satunya dari internet, ternyata
Siti ada dalam bahasa Sansekerta yang banyak diserap ke dalam bahasa Jawa. Nama
“siti” berasal dari kata ‘Ksiti’ yang artinya bumi, tanah, tempat hidup.
Wallahu a‘lamu []
[1]
Bahasa Arab fusha adalah bahasa Arab
standar yang merupakan bahasa resmi pada negara-negara Arab.Bahasa ini merupakan bahasa Arab
“tinggi” yang dipakai oleh para ulama dan sarjana; dengan kata lain bahasa kaum
literati atau dianggap bahasa orang alim. Jadi bahasa arab standar biasanya
hanya dipakai dalam konteks yang resmi, seperti dalam diskursus ilmiah,
naskah-naskah perjanjian dan lain-lain.
[2] Bahasa Arab Amiyah adalah bahasa
arab umum dan sering disebut sebagai bahasa arab pasaran adalah bahasa arab
yang dipakai dalam percakapan sehari-hari di dunia arab, bahasa ini lebih luas
dipakai dalam kehidupan sehari-hari, karena bangsa arab suka bergaul dan
berhubungan dengan bangsa lainnya, maka bahasa arab bercampur dengan bahasa
daerah setempat, pengaruh bahasa lokal terhadap bahasa arab menyebabkan
terdapat banyak sekali dialek, diantaranya bahasa arab dialek Mesir, Maghribi,
Iraq, Sudan, Hijazi, Najd, Yaman dan bahkan setiap suku
bangsa arab memiliki dialek dan intonasi penuturan tersendiri.