Tuesday, 14 November 2017

MAJAS PERSONIFIKASI, ANTARA BAHASA ARAB DAN BAHASA INDONESIA



MAJAS PERSONIFIKASI, ANTARA BAHASA ARAB DAN BAHASA INDONESIA*)
Oleh: Laila Nur Barkah
الاستعارة المكنيّة merupakan bagian dari rumpun علم البيان. الاستعارة المكنيّة (al-isti’ārah al-makniyyah) dalam bahasa Indonesia dapat disamakan dengan ‘majas personifikasi’. Yaitu jenis kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
Penggunaan الاستعارة المكنيّة (al-isti’ārah al-makniyyah) banyak kita temui dalam karya-karya sastra seperti puisi, novel, cerpen dan sebagainya. Bahkan dalam kitab suci umat islam: Al-Qur’an.
Contoh-contoh الاستعارة المكنيّة (al-isti’ārah al-makniyyah) atau majas personifikasi:
1.       
﴿وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ ......[الأعراف: 154]
Dan ketika kemarahan Musa telah diam
2.       
من قول أيليا أبو ماضي: خانت عهودى بعد ما ملكتهما قلبي فكيف أطيق أن أتبسما
Elia Abu Madhi berkata, “Janji-janji telah mengkhianatiku ketika kalbu telah menguasainya. Bagaimana mungkin jiwaku sanggup mengembangkan senyum manisnya”.
(“La tahzan”, Dr. Aidh Al-Qarni)
3.      Dan taman tersenyum
Bunga-bunga mengangguk di sekitarnya
(”Kupu-kupu”, Acep Zamzam Noor)
4.      Menyaksikan keakraban Dedi dengan listrik sering membuatku tergoda, tetapi ngeri mencoba. Barangkali listrik juga mengawiniku waktu itu. Karena sejak kesetrum, satu keanehan muncul: aku jadi senang menontoni petir. (“Supernova Petir”, Dee)
5.      Jam dinding pun tertawa
Tapi ku hanya diam dan membisu
(“Pelangi Di Matamu”, Jamrud)
            Jika kita analisis contoh-contoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa isti’ārah al-makniyyah (majas personifikasi)—dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia, keduanya menggambarkan benda mati seolah-olah memiliki sifat manusia dan mampu melakukan tindakan seperti yang dilakukan manusia.
            Namun, terdapat perbedaan di antara keduanya—isti’ārah al-makniyyah (majas personifikasi)  dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Sebelum menguraikan perbedaannya, mari kita simak ayat Al-Quran yang mengandung isti’ārah makniyyah berikut ini,
﴿قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا ..... [سورة مريم:4]
            Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah menyala.
Penjelasan sederhana mengenai ayat di atas dalam kitab  تيسير البلاغة yang ditulis oleh Prof. Dr. Usamah Al-Bahiri, seorang profesor di fakultas adab Universitas Tonto. Adalah kepala Nabi Zakaria diserupakan dengan kayu bakar yang menyala. Lalu ‘kayu bakar’ yang menjadi musyabbah bih (hal yang dijadikan persamaan) dibuang. Tetapi sifat ‘menyala’ dari kayu bakar tidak dibuang melainkan disandarkan dengan musyabbah (hal yang dipersamakan). Dan pada ayat di atas, yang menjadi musyabbah ialah lafadz ar-ra’su yang berarti ‘kepala’. Kemudian musyabbah bersandar dengan sifat atau karakter musyabbah bih—atau biasa disebut qarinah, menjadi ‘kepala yang menyala’. Selanjutnya maksud dari kepalaku telah menyala ialah kepala Nabi Zakaria telah dipenuhi uban.
Jika kita membaca kembali pengertian isti’ārah makniyyah, ayat Al-Quran di atas termasuk ke dalam bagian contoh isti’ārah makniyyah. Berikut ini adalah pengertian isti’ārah makniyyah,
ماحذف فيها المشبّه به ورمز له بشيء من لوازمه
            Isti’ārah yang dibuang musyabbah bih-nya (hal yang dijadikan persamaan). Dan sebagai isyaratnya ditetapkan salah satu sifat khasnya.
            Dari contoh di atas bisa ditarik simpulan bahwa isti’ārah makniyyah (majas personifikasi) dalam bahasa Arab, tidak selalu meletakkan sifat insani pada benda mati. Tetapi, bisa terjadi sifat suatu benda disandarkan pada benda atau materi lain.
            Selanjutnya, ada beberapa jenis isti’ārah makniyyah (majas personifikasi) dalam bahasa Arab, yaitu sebagai berikut:
1.      Berdasarkan lafadz musta’ar-nya
a.       Isti’ārah Makniyyah Ashliyyah, apabila isim (kata benda) yang dijadikan isti’ārah berupa isim jamid.
Contoh: عَضَّنَا الدَّهْرُ بِنَابِهْ     لَيْتَ مَاحَلَّ بِنَابِهْ
Masa menggigitku dengan taringnya, aduhai seandainya gigi taringnya terkena penyakit. (Terjemah Al-Balāghatul Wādihah)
b.      Isti’ārah Makniyyah Taba’iyyah, apabila lafadz yang dijadikan isti’ārah berupa isim musytaq atau fiil (kata kerja).
Contoh: أعجبني إراقة الضارب دم الباغي
                    Isim musytaq

2.      Berdasarkan kesesuaian musyabbah dan musyabbah bih-nya
a.       Isti’ārah Makniyyah Murasysyahah ialah isti’ārah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih.
b.      Isti’ārah Makniyyah Mujarradah ialah isti’ārah yang  disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah
c.       Isti’ārah Makniyyah Muṭlaqah ialah isti’ārah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih maupun musyabbah.

Namun, tidak terdapat jenis-jenis majas personifikasi dalam bahasa Indonesia.
***
Maka, berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara isti’ārah makniyyah (majas personifikasi) dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Adapun persamaannya ialah keduanya—isti’ārah al-makniyyah (majas personifikasi)  dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia, menggambarkan benda-benda mati seolah memiliki sifat insani.
Sedangkan perbedaannya, a) dalam bahasa Indonesia, majas personifikasi menggambarkan semua benda mati seolah mampu melakukan tindakan seperti manusia. Namun dalam bahasa arab tidak seluruhnya demikian; b) majas personifikasi dalam bahasa Indonesia tidak sama halnya dengan bahasa Arab yang memiliki jenis-jenis isti’ārah makniyyah (majas personifikasi).
Dan, akhirnya, memang bahasa Arab memiliki majas personifikasi yang  lebih kaya dibanding bahasa Indonesia.
Wallāhu’alam[]
            `
*) Tulisan ini merupakan hasil penelitian untuk tugas akhir—skripsi. Dengan judul skripsi:
الاستعارة المكنيّة (دراسة تقابليّة بين اللغة العربيّة واللغة الإندونيسيّة)

keyword: majas personifikasi, isti'arah makniyyah, ilmu balaghah, linguistik arab

SUNGAI YANG BERSEDIH



SUNGAI YANG BERSEDIH
Oleh: Laila Nb.

            Setiap pagi, matahari datang menyapa kawan-kawannya yang ada di bumi. Tetapi pagi ini berbeda, matahari melihat salah seorang kawannya murung. Kawan matahari yang murung itu ialah sungai. Wajah sungai begitu murung dan matanya sesekali menitikkan air mata. Melihat keadaan itu, matahari pun mencoba bertanya kepada sungai. Kenapa pagi ini sungai berwajah seperti itu.
            “Sungai, dari tadi aku memperhatikanmu. Kau terlihat murung. Apa yang terjadi, sungai?”, tanya matahari.
            “Hiks....hiks”, suara sungai sedikit terisak
            “Kenapa? Ada apa sungai? Berceritalah padaku! Barangkali, jika kau bercerita kepadaku, hatimu akan sedikit lebih tenang, dan sedihmu akan mereda”, kata matahari
            “Baiklah matahari, aku akan bercerita”, jawab sungai kepada matahari
            “Iya, silakan, akan kusimak baik-baik sesuatu yang membuatmu sedih”, sahut matahari.
            “Lihatlah matahari, tubuhku kotor sekali. Saat ini, manusia mengirim sampah kepadaku setiap hari. Airku keruh, sudah tidak jernih lagi. Sampah-sampah plastik dan rumah tangga sudah memenuhi tubuhku”, ungkap sungai pada matahari.
            “Dulu, aku berkawan baik dengan mereka para manusia. Setiap hari mereka mengunjungiku. Anak-anak sering bermain di sini, mencari ikan atau hewan air lainnya. Atau sekedar ingin bermain kecipak air denganku. Lalu, banyak manusia yang mandi dan mencuci baju di sini. Ada pula yang memandikan kerbaunya setelah seharian menggarap sawah. Namun, saat ini yang aku jumpai hanya sampah. Sekarang manusia malah jahat kepadaku” , tutur sungai menceritakan kesedihannya.
            Ketika sungai menceritakan kesedihannya kepada matahari, di kejauhan terlihat seorang manusia datang sambil membawa jinjingan. Ia menjinjing kantong keresek. Kantong kereseknya terlihat penuh. Lalu, manusia melemparkannya ke tubuh sungai.
            “Wiiiiiiiiiiiiiiing, kecipak!!!”, bunyi keresek yang dilempar lalu menyentuh air sungai.
            Kejadian tersebut membuat sungai semakin bersedih. Menyaksikan hal itu, matahari merasa iba. Padahal, manusia sangat membutuhkan air yang ada pada tubuh sungai untuk kehidupan mereka. Namun, manusia seolah lupa akan hal itu.
@@@
            Setelah kejadian itu, esoknya awan hitam datang. Ia berkata pada sungai bahwa hari ini hujan akan turun lebat.
            Sungai tak bisa berkata apa-apa. Ia tahu bahwa jika hujan lebat datang, air pada tubuhnya akan meluap dan membanjiri rumah-rumah manusia. Sebab, sampah begitu banyak dan bisa mengahalangi aliran air.
            Lantas, hujan pun datang, air sungai sangat penuh. Sampah-sampah meliputi tubuh sungai. Lalu, air meluap. Keluar dari tubuh sungai dan membanjiri manusia. [ ]

Keyword: Dongeng Anak


Saturday, 7 October 2017

ETIMOLOGI SITI

Oleh: Laila Nurbarkah

            Konsep anjuran pemberian nama terhadap seorang anak telah disampaikan oleh Kanjeng Nabi SAW. dalam haditsnya. Bahwasanya disunatkan memberi nama anak yang baru lahir pada hari ke tujuh. Berikut ini keterangan yang dikutip dari kitab Adzkar Nawawi,
 Adalah sunah menamai anak pada hari ketujuh terhitung dari hari kelahiran. Adapun dalilnya ialah riwayat al-Tirmidzi yang bersumber dari Amar bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwasanya Nabi SAW memerintahkan untuk menamai anak pada hari ketujuh.”
Selanjutnya, Kanjeng Nabi SAW. menganjurkan untuk memberi nama yang baik. Sebagaimana dalam hadits riwayat Abu Darda, Kanjeng Nabi Saw. bersabda,
“Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari Kiamat nanti dengan nama-nama kalian dan nama-nama ayah kalian, maka baguskanlah nama-nama kalian”
Lalu, menurut Arkand Bodhana Zeshaprajna—seorang ahli metafisika nama dan tanggal lahir, nama bukan sekedar kumpulan kata melainkan mengandung energi. Adapun bagi orang  tua, pemberian nama kepada anak-anak mereka merupakan do‘a dan harapan. Semoga kelak mereka—anak-anaknya—menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama, menjadi anak yang shalih-shalihah, dan segenap kalimat do’a lainnya. Demikian pula, ihwal nama, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) pun memiliki arti yang telah dirumuskan. ‘Nama’ ialah 1) kata untuk menyebut atau memanggil orang (tempat, barang, binatang, dan sebagainya); 2) gelar, sebutan; 3) kemasyhuran, kebaikan (keunggulan), kehormatan.
Siti. Begitu banyak perempuan-perempuan di Indonesia yang memiliki nama demikian. Adalah Siti Maemunah, Siti Fatimah, Siti Rokayah, Siti Aisah, Siti Maesaroh, Siti Nurlela, Siti Masitoh, Siti Nurohmah, Siti Jamaliah, Siti Mutoharoh, Siti Rahmawati. Nama Siti tersebut digunakan di awal. Ada juga yang menggunakan nama Siti di tengah, seperti Lia Siti Nurlaila, Enok Siti Nurhalimah, Mega Siti Patimah, dll.
Bahkan, masyarakat kita kerap menyebut nama-nama perempuan di zaman para nabi pun diawali dengan nama Siti. Seperti, Siti Hawa istri Nabi Adam as., Siti Sarah & Siti Hajar keduanya adalah istri dari Nabi Ibrahim as., Siti Maryam ibu dari Nabi Isa as., Siti Khadijah istri Nabi Muhammad Saw., dan Siti Fatimah ialah salah satu putri Nabi Muhammad SAW.
Sebagian berpendapat bahwa ‘Siti’ diambil bahasa Arab. Bahwa ‘Siti’ adalah panggilan kehormatan bagi perempuan. Namun, dalam teks-teks berbahasa Arab fusha sangat jarang bahkan tidak ditemukan panggilan ‘Siti’. Tapi panggilan kehormatan bagi perempuan yang ditemukan dalam teks-teks bahasa Arab fusha[1] adalah Sayyidah. Misal Sayyidah Khadijah, Sayyidah Fatimah, dsb.  Lantas Siti? Katanya bahasa Arab?
Dalam suatu perkuliahan yang diikuti, saya menemukan jawaban dari seorang native speaker atau penutur asli bahasa Arab yang berasal dari Mesir. Ketika itu beliau mengampu mata kuliah bahasa Arab Amiyah[2]. Salah satu materi yang saya tangkap di perkuliahan itu adalah kata “Sitt”. Dalam dialek Arab Amiyah Mesir, ‘Sitt’ artinya perempuan.  Dan menurut analisa saya—secara subjektif, kemudian barangkali kata tersebut terintegrasi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi ‘Siti’ yang dipakai oleh sebagian besar nama perempuan. Sebenarnya nama ‘Siti’ bukan hanya berada di Indonesia. Di Malaysia pun ada. Kita sangat mengenal penyanyi asal Malaysia yang suaranya merdu, pelantun lagu cindai, Siti Nurhaliza. Dan barangkali di negara-negara rumpun Melayu lainnya pun terdapat nama Siti. Adapun awal mula terintegrasinya nama ‘Siti’ di Indonesia saya belum tahu kapan mulai terjadinya. Mesti dilakukan penelitian lebih lanjut.
Telah dijelaskan di awal, nama’Siti’ identik dengan perempuan. Namun, bagaimana dengan nama ‘Syekh Siti Jenar’?. Namanya Siti tapi bergelar ‘Syekh’. Syekh Siti Jenar memang bukan seorang perempuan tapi Syekh Siti Jenar berjenis kelamin laki-laki. Ia seperguruan dengan Sunan Kalijaga dan merupakan murid Sunan Bonang. Lantas, apa arti ‘Siti’ pada nama Syekh Siti Jenar? Jika diartikan perempuan sudah tidak relevan lagi karena Syekh Siti Jenar adalah laki-laki.
Jawabannya—setelah mencari dari beberapa sumber, salah satunya dari internet,  ternyata Siti ada dalam bahasa Sansekerta yang banyak diserap ke dalam bahasa Jawa. Nama “siti” berasal dari kata ‘Ksiti’ yang artinya bumi, tanah, tempat hidup.
Wallahu a‘lamu []



[1] Bahasa Arab fusha adalah bahasa Arab standar yang merupakan bahasa resmi pada negara-negara Arab.Bahasa ini merupakan bahasa Arab “tinggi” yang dipakai oleh para ulama dan sarjana; dengan kata lain bahasa kaum literati atau dianggap bahasa orang alim. Jadi bahasa arab standar biasanya hanya dipakai dalam konteks yang resmi, seperti dalam diskursus ilmiah, naskah-naskah perjanjian dan lain-lain.
[2] Bahasa Arab Amiyah adalah bahasa arab umum dan sering disebut sebagai bahasa arab pasaran adalah bahasa arab yang dipakai dalam percakapan sehari-hari di dunia arab, bahasa ini lebih luas dipakai dalam kehidupan sehari-hari, karena bangsa arab suka bergaul dan berhubungan dengan bangsa lainnya, maka bahasa arab bercampur dengan bahasa daerah setempat, pengaruh bahasa lokal terhadap bahasa arab menyebabkan terdapat banyak sekali dialek, diantaranya bahasa arab dialek Mesir, Maghribi, Iraq, Sudan, Hijazi, Najd, Yaman dan bahkan setiap suku bangsa arab memiliki dialek dan intonasi penuturan tersendiri.